Kereta Hantu Itu Bernama Batara Kresna
Pada jam-jam tertentu, ratusan hingga ribuan orang yang berlalu-lalang di Jalan Slamet Riyadi akan menghentikan aktivitasnya sejenak demi mengabadikan momen sebuah kereta melintas di sisi jalan arteri yang membelah Kota Solo itu. Batara Kresna namanya. Memang bukan suatu momen yang langka, tapi pemandangan yang “luar negeri banget” ini nyatanya menjadi semacam hiburan bagi mereka yang mengharapkan adanya trem sebagai transportasi massal layaknya di negara maju.
Masalahnya, meski Batara Kresna secara fisik dan kondisi lintasannya menyerupai trem, tapi jangan harap bisa mencegatnya di tengah jalan lalu nebeng hingga ke tujuan akhir. Sebab, kereta ini hanya numpang lewat di Jalan Slamet Riyadi kemudian singgah di Stasiun Solo Kota — yang berada di ujung Jalan Slamet Riyadi — sebagai pemberhentian keduanya setelah mengawali perjalanan dari Stasiun Purwosari. Stasiun Sukoharjo dan Stasiun Pasar Nguter menjadi pemberhentian selanjutnya sampai mengakhiri perjalanan di Stasiun Wonogiri.
Rutenya memang terkesan pendek, hanya 37 km, tapi realisasi waktu tempuhnya cenderung luar biasa lama karena batas kecepatan yang diizinkan saat kereta ini melaju hanya 30 kilometer per jam. Penyebabnya tentu saja karena rutenya harus membelah pusat keramaian Kota Solo. Akibatnya banyak pelaju dari dan ke arah Wonogiri memalingkan wajah ke transportasi roda karet yang dinilai lebih cepat.
Pengoperasian Batara Kresna yang bersinggungan dengan jalan raya juga kerap mengakibatkan macet dan bahkan kecelakaan. Jangankan ditabrak atau menabrak keretanya, lhawong relnya yang diam tak bergerak saja kadang membuat pengendara motor yang lewat jatuh terpeleset. Namun, keberadaannya tetap dipertahankan sebagai upaya menjaga kebanggaan akan ciri khas kota tersebut.
Dengan segala spesifikasi yang kurang memenuhi standar transportasi massal, toh, kereta kosong Batara Kresna akan tetap ngalor-ngidul di jalanan Solo untuk dijadikan bahan pamer ke warga kota lain.
Iki lho kotaku koyo ning luar negeri!
Keabadiannya kekal nan mutlak, sebab kalau disuntik mati niscaya mengundang kemarahan. Kecuali mereka yang ngeyel parkir di jalur kereta lalu mau tidak mau terpaksa dienyahkan.
Penuh Rombongan Turis Saat Weekend, Mengangkut Penumpang Gaib Saat Weekdays
Sebenarnya Batara Kresna adalah salah satu opsi angkutan utama menuju Wonogiri. Tarifnya pun sangat murah, hanya dibanderol Rp4.000. Namun, entah kenapa sajian utama kereta ini hanya ketika melintas di Jalan Slamet Riyadi yang durasinya tidak sampai setengah jam, tepatnya 19 menit. Sensasi unik sesaat ini harus dibayar mahal karena satu jam berikutnya kereta hanya akan melintasi area persawahan yang gitu-gitu aja.
Tidak jarang perjalanan harus terhenti karena ada banyak gangguan, orang iseng yang menaruh penghalang di atas rel misal. Terlebih armada kereta yang dipakai sering bermasalah sehingga terpaksa dinonaktifkan sementara atau digantikan oleh kereta lain. Belum lagi para penumpang acap kali tersandung nemesis alamiahnya, yaitu rasa kantuk. Penyebabnya? Apalagi kalau bukan gara-gara terjebak berjam-jam di tabung sumpek lagi lemot yang dipanggil kereta, plis.
Masalah di efisiensi perjalanan Batara Kresna tentu saja memunculkan pertanyaan:
Sebenarnya untuk siapa sih kereta ini dioperasikan?
Para penumpang Batara Kresna didominasi oleh mereka yang hanya sekadar ingin menjajal, bukan untuk para penumpang komuter, apalagi untuk perjalanan bisnis. Saat hari libur tiba, kereta selalu penuh rombongan turis dan sekumpulan anak sekolah yang hanya ingin tahu. Biasanya mereka memesan tiket pulang pergi di satu hari yang sama karena motivasinya hanya sekadar tektokan.
Lalu bagaimana saat hari kerja? Rerata okupansi penumpangnya bertengger di angka 50%. Namun, dari pantauan saya yang rutin bertemu kereta ini di hari kerja, penumpang yang terangkut justru adalah hantu alias penumpang gaib alias kosong melompong.
Padahal koridor Jalan Slamet Riyadi yang dijadikan lintasan kereta ini didominasi dan dikelilingi oleh kawasan perkantoran. Meski lintasannya hanya linear satu arah, seharusnya Batara Kresna mampu berbagi tugas dengan Bus BST (Batik Solo Trans) sebagai opsi berpindah tempat bagi para pekerja kantoran. Fungsinya pun bertambah bukan cuma untuk mempercantik kota, tapi juga meningkatkan motivasi perjalanan bisnis para pelaku usaha di sekelilingnya.
Integrasi di Tujuan Akhir yang Nol Besar
Setibanya di Wonogiri, Batara Kresna langsung tancap gas balik ke kota asal. Perjalanan ke Wonogiri pun jadi terasa sia-sia karena ketiadaan waktu tunggu memadai bagi penumpang tektokan untuk sekadar berkeliling ke area di sekitar stasiun. Itu pun kalau ada tempat menarik yang bisa dieksplorasi.
Sayangnya tidak ada.
Lokasi Stasiun Wonogiri yang tidak tepat berada di pusat kota menjadi alasan mengapa berkeliling di area sekitar stasiun bukan menjadi opsi menarik. Satu-satunya opsi menarik adalah toilet. Sebab, perjalanan 1 jam 45 menit menggunakan kereta tanpa toilet tentu saja cukup menyiksa.
Menjangkau pusat kota pun juga tidak mungkin karena selain waktu tunggu kereta yang sebentar, tidak ada transportasi umum yang menyambangi Stasiun Wonogiri. Semaraknya iring-iringan kala Batara Kresna melintas di Kota Solo seolah memudar begitu kita tiba di tujuan akhir. Literally disambut keheningan, kegersangan, kesepian, dan apapun itulah. Pokoknya nggak ada apa-apa, deh.
Maka dari itu, kebanyakan penumpang dari arah solo adalah penumpang tektokan. Seandainya dibuat rute bus dari stasiun ini menuju pusat kota lalu disesuaikan dengan jadwal kereta, setidaknya okupansi penumpang komuter bisa diharapkan meningkat.
Batara Kresna vs Bus
Minimnya okupansi penumpang komuter untuk Batara Kresna sebenarnya bisa sepenuhnya dimaklumi. Pilihan bepergian menggunakan kereta ini terlalu banyak risikonya dibandingkan transportasi berbasis roda karet.
Beroperasinya Bus Trans Jateng Solo-Wonogiri juga mengancam relevansi Batara Kresna sebagai angkutan antar kota. Apalagi tarif bus tersebut hanya berkisar Rp4.000 untuk penumpang kategori umum, serta Rp2.000 untuk penumpang kategori pelajar, buruh, dan veteran.
Waktu tempuh yang diperlukan bus untuk mencapai Wonogiri dari Kota Solo pun hanya separuh dari durasi perjalanan Batara Kresna. Subsidi miliaran yang digelontorkan demi mencegah kematian kereta ini pun jadi terkesan mubazir karena bisa dipastikan Batara Kresna makin menyerupai kereta hantu ketika hari libur telah tiba.
- Prediksi terburuk dari seluruh kejadian ini justru ada di rute rel-nya. Kemungkinan besar rute yang dinilai worth it untuk dipertahankan hanyalah dari Stasiun Purwosari hingga Stasiun Solo Kota. Sebab atraksi utamanya memang hanya berada di aspek keunikan lintasan yang beriringan dengan kendaraan bermotor, sedang rute sisanya cenderung tak menyuguhkan apapun.
- Prediksi lainnya adalah, kemungkinan besar kelak dibangun halte khusus kereta di sisi jalan raya untuk menjangkau para pekerja kantoran meski kondisi rel yang hanya single track tidak memungkinkan untuk terjadinya papasan antar kereta dari kedua arah berlawanan.
- Prediksi terakhir, kelak eksistensi kereta ini hanya akan tarik menarik antara bertahan atau dikalahkan. Hidup segan, mati menunggu subsidi dicabut. Dan satu-satunya penyelamat adalah rasa bangga warga solo yang ditanamkan kuat-kuat pada sebuah kereta hantu nan unik bernama Batara Kresna.