Padam Hidup Mandiri
Kalau bunuh diri tidak memiliki konsekuensi berupa rasa sakit dan dosa, pasti kita sudah melakukannya sejak dulu, dan begitu pula dengan milyaran orang lainnya.
Mengapa? Sejatinya manusia adalah ruang kedap tempat berkumpulnya gelembung kedengkian.
Bagaimana rasa dengki itu diperkuat kala kita dipertontonkan wajah-wajah pongah yang dilimpahi nikmatnya dunia, mengeruk kudapan lezat nan mahal hingga licin tandas, sungguh pertunjukkan dari ruang kedap lain yang jumlahnya tidak sampai sepersepuluh jumlah penyewa lahan Bumi.
Zaman modern hanya memperparah. Tiada sekat untuk melihat kiri kanan, mengedarkan pandangan ke atas pun bertemu kehidupan yang diidamkan, keliaran mata menjulur ke bawah malah dipaksa mensyukuri berkah hidup. Betapa sulitnya bernafas sembari berkalang jejalan piksel yang mereka sebut konten media sosial itu.
Koridor Ekspektasi
Gambaran kehidupan ideal kian semampai berkat katrol ekspektasi — yang kesemuanya disertai seloroh si pemilik kreasi.
Suatu hari, si pemilik kreasi berujar,
“kendalikan ekspektasimu.”
Namun, ia pula yang hilang ingat akan pancaran kebajikan buatannya sendiri tatkala sketsa kesedihan berjudul Kaum Rentan terjual pada si wajah pongah.
Berdekade, berdasawarsa, siklus tak pernah terhenti. Karena enggan rasanya menyebut kesempatan untuk beralih peran menjadi si wajah pongah sebagai “sirna”, mari kita sebut saja “pelan-pelan memudar”.
Toh, pada akhirnya kita menyadari peran lebih dari separuh pengisi kekosongan Bumi hanya sebagai pemantik gelak tawa bagi si wajah pongah, pengisi dahaga moral untuk mengobral rasa iba, pun sebagai komoditas yang mengemis secuil kepingan duniawi tiada henti.
Koridor Konklusi
Ketika peristiwa naiknya kelas sosial tertebus, guratan lelah yang menghias wajahnya abadi, tapi tidak dengan masa hidup di naungan semburat kemenangannya. Ia tak ubahnya hitung mundur menuju peti berbalut emas.
Lalu, buat apa mengarungi sisa umur hanya untuk menengadah seraya bersandar pada suaka pengharapan semu?
Wujud sebenar-benarnya Bumi adalah arena luas tempat beradu lamunan kala tertegun, termangu mencari-cari suguhan alaminya yang patut tuk dikagumi. Desir angin di irisan bukit pun turut menemani dalam rupa senandika diam di tengah diamnya rasa kagum. Dan yang paling indah, Bumi tak pernah tega menagih upah.
Sejenak riuhnya alam mampu membayangi riuh dunia nyata, riuh dunia maya, pula riuh isi kepala. Angkara murka teredam, padam hidup urung terlaksana.
Di Penghujung Hari…
Mari kita wujudkan menyepi di tepinya Sungai Serayu itu.
Now playing: Di Tepinya Sungai Serayu